Namaku Evelin. Aku gadis berumur 17 tahun yang
tampak sama dengan gadis lainnya. Teman-temanku bilang, aku ini cerewet,
cengeng, dan suka mengeluh. Ya, memang benar rasanya. Kalau tidak berbicara,
kerjaanku yang lain adalah menangis, atau kalau tidak menangis, ya kerjaanku
yang lain adalah mengeluh. Tapi memang itulah aku. Mereka mengenal sifatku itu
telah menyatu dengan namaku, bahkan menyatu dengan kulitku.
Tidak ada yang aneh denganku. Seperti yang kukatakan
sebelumnya, aku adalah gadis berumur 17 tahun yang tampak sama dengan gadis
lainnya. Eits, ada kata “tampak” disitu. Sebenarnya ada satu hal yang
membedakan aku dengan gadis seumuranku lainnya. Aku adalah Evelin, gadis berkerudung
yang berpacaran dengan lelaki yang menjalankan ibadahnya di Gereja.
Hubunganku dengan Moan, kekasihku, memang terbilang
sensasional dan fenomenal. Bagaimana tidak? Kami adalah pasangan kekasih beda
agama, terlebih jilbab selalu membalut kepalaku kemanapun aku pergi.
Sudah hampir satu tahun aku menjalin hubungan
dengannya. Semuanya baik-baik saja. Kami selalu pulang sekolah bersama,
istirahat bersama, dan pergi bersama. Tak pernah ada satupun masalah berarti
dalam hubungan kami. Kami jarang bertengkar dan jarang meributkan hal yang
tidak penting. Bagiku, Moan adalah malaikat. Ia selalu ada di setiap saat aku
bahagia, sedih, tertawa, dan terjatuh. Suaranya yang merdu membuat aku selalu
merindukan kehadirannya. Semua terasa indah bagiku dan Moan.
Keluargaku sangat terbuka menerima Moan sebagai
kekasihku. Mereka tidak mempermasalahkan perbedaan agama diantara kami. Tentu
saja, namaku yang agak kebarat-baratan memang pemberian dari Ayahku yang
beragama Kristen, sementara Ibuku beragama Islam. Jadi, perbedaan agama dalam
sebuah hubungan bukanlah suatu masalah bagi keluargaku.
Hari ini Moan berniat mengajakku untuk datang ke
rumahnya, menemui keluarganya. Memang, sejak hari pertama berpacaran dengannya,
aku belum mengenal satupun keluarganya. Datang ke rumah Moan dan bertemu
keluarganya membuat perasaanku cemas tak karuan. Jantungku berdebar tak tentu.
Rasanya sangat menegangkan, jauh lebih menegangkan daripada menaiki roller coster sampai berpuluh-puluh
putaran.
Aku menjaga sebaik mungkin perilaku dan sikapku di
hadapan keluarga Moan. Sebisa mungkin tak ada sedikitpun noda yang kuciptakan.
Benar saja, aku bisa menghela napas lega setelah pulang dari rumah Moan.
Semuanya lancar, pertemuanku dengan keluarga Moan lancar. Tidak ada yang aneh.
Keluarga itu tidak terlihat membenciku, tapi tidak terlihat menyukaiku juga.
Artinya, sikap mereka biasa-biasa saja, normal-normal saja.
Aku membuka jilbabku lalu menenggelamkan badanku ke
kasur. Lelah sekali rasanya, tapi sangat menyenangkan. Akhirnya aku bisa
mengenal keluarga Moan dan semua akan semakin baik-baik saja.
Baru sejenak rasanya aku meregangkan setiap otot
yang melilit tubuhku, handphoneku
berdering tanda ada pesan masuk. Itu pasti Moan. Tapi untuk apa Moan
mengirimkan sms? Harusnya tidak
secepat ini ia sampai kembali ke rumahnya.
Kuambil handphoneku
dari dalam tas dan melihat dua belas digit nomor yang tak kukenal. Kubuka pesan
itu dan perlahan kubaca.
“Selamat malam,
ini dengan Evelin kan? Saya kakaknya Moan. Dengan segala hormat, tolong Anda
jauhi adik saya. Saya rasa Anda sudah tahu dengan jelas apa alasannya. Keluarga
kami tidak bisa menerima Anda. Moan masih mempunyai masa depan yang jauh lebih
baik jika tanpa Anda. Saya mohon pengertian Anda. Terima kasih, selamat malam.”
Aku diam. Badanku bergetar. Air mata perlahan
jatuh membasahi pipiku. Napasku mulai sesak dan tak karuan. Aku menatap jilbab
yang baru kutanggalkan dari kepalaku. Tangisku semakin menjadi. Apa yang salah
denganku sebagai Islam? Apa yang salah dengan Moan sebagai Kristen? Apa yang
salah dengan hubungan kami? Apa sebegitu kejamnya perbedaan sampai tidak bisa
menyatukan kami? Apa yang salah dengan cinta kami, Tuhan?-Untukmu, sahabatku yang mencintainya sangat dalam-
Permasalahan yg sering ditemui :')
ReplyDeletesering ditemui tapi tetep aja bikin sakit hati ya :)
ReplyDelete