Tuesday, October 17, 2017

Air Tumpah

“Ta, ada yang mau aku omongin sama kamu.”
“Ngomong apa, Sak?” Tanya gadis manis berkulit putih, bernama Dita yang sudah tiga bulan terakhir ini menjadi warna dalam hidupku.
“Di depan ya…”
Aku berjalan mendahului Dita, berharap ia mengikutiku menjauhi kerumunan teman-teman sepermainan kami yang memang sedang asyik mengobrol di salah satu meja café sambil menunggu pesanan mereka masing-masing.
Benar saja, tidak butuh waktu lama bagiku untuk melihat sosok Dita ada dihadapanku.
“Ada apa sih, Sak? Kok kayaknya serius banget?”
“Hmm…Hehe…” Aku hanya bisa mengeluarkan nyengir khasku. Membuat mataku yang agak sipit menjadi semakin sulit terlihat.
“Apaan? Malah nyengir.”
“Aku mau, kamu jadi pacar aku…”
Dita diam. Akupun terdiam. Ia melihat wajahku dengan wajahnya yang tampak mulai memerah. Pipinya merona dan gerak badannya mulai tak beraturan. Ketidakteraturan yang sama juga tampak pada tubuhku.
“Hmm…”
“Bentar! Jangan dulu dijawab!”
Aku mengambil satu gelas berisikan air yang sejak tadi kusimpan di bawah. Gelas itu hanya gelas bekas air mineral dan airnya pun hanya air yang mengalir dari keran wastafle café.
“Buat apa, Sak?”
“Kalo kamu nerima aku, ambil gelas ini dan tumpahin airnya ke kepala aku, biar aku tahu kalo aku nggak mimpi. Tapi kalo kamu nolak aku, ambil gelas ini dan buang airnya kemanapun, jangan ke kepala aku, biar aku tetep ada dalam mimpi.”
Kami lagi-lagi terdiam. Diam kali ini tanpa diiringi oleh gerakan tak beraturan seperti sebelumnya. Saat ini, justru irama napaskulah yang masuk dan keluar tak beraturan.
Cukup lama aku menunggu keputusan apa yang akan diambil oleh Dita. Sampai akhirnya ia mulai mengayunkan tangan kanannya dan mengambil gelas yang kugenggam dengan ragu.
“Ini bukan soal aku akan menumpahkan airnya ke kepala kamu atau nggak, Sak.”
“Hmm?”
“Aku ingin kamu tetep bangun dari mimpi, tapi tanpa perlu aku tumpahin air ini ke kepala kamu.”
“…”
“Aku akan buang air ini, aku nggak akan numpahin ke kepala kamu. Tapi aku ingin kamu bangun, kamu sadar, dan kamu mengerti, kalau aku nggak bisa nerima kamu…”


-Dia yang tak pernah punya kesempatan untuk mendapatkan pujaan hatinya-

PILAR

Namaku Evelin. Aku gadis berumur 17 tahun yang tampak sama dengan gadis lainnya. Teman-temanku bilang, aku ini cerewet, cengeng, dan suka mengeluh. Ya, memang benar rasanya. Kalau tidak berbicara, kerjaanku yang lain adalah menangis, atau kalau tidak menangis, ya kerjaanku yang lain adalah mengeluh. Tapi memang itulah aku. Mereka mengenal sifatku itu telah menyatu dengan namaku, bahkan menyatu dengan kulitku.
Tidak ada yang aneh denganku. Seperti yang kukatakan sebelumnya, aku adalah gadis berumur 17 tahun yang tampak sama dengan gadis lainnya. Eits, ada kata “tampak” disitu. Sebenarnya ada satu hal yang membedakan aku dengan gadis seumuranku lainnya. Aku adalah Evelin, gadis berkerudung yang berpacaran dengan lelaki yang menjalankan ibadahnya di Gereja.
Hubunganku dengan Moan, kekasihku, memang terbilang sensasional dan fenomenal. Bagaimana tidak? Kami adalah pasangan kekasih beda agama, terlebih jilbab selalu membalut kepalaku kemanapun aku pergi.
Sudah hampir satu tahun aku menjalin hubungan dengannya. Semuanya baik-baik saja. Kami selalu pulang sekolah bersama, istirahat bersama, dan pergi bersama. Tak pernah ada satupun masalah berarti dalam hubungan kami. Kami jarang bertengkar dan jarang meributkan hal yang tidak penting. Bagiku, Moan adalah malaikat. Ia selalu ada di setiap saat aku bahagia, sedih, tertawa, dan terjatuh. Suaranya yang merdu membuat aku selalu merindukan kehadirannya. Semua terasa indah bagiku dan Moan.
Keluargaku sangat terbuka menerima Moan sebagai kekasihku. Mereka tidak mempermasalahkan perbedaan agama diantara kami. Tentu saja, namaku yang agak kebarat-baratan memang pemberian dari Ayahku yang beragama Kristen, sementara Ibuku beragama Islam. Jadi, perbedaan agama dalam sebuah hubungan bukanlah suatu masalah bagi keluargaku.
Hari ini Moan berniat mengajakku untuk datang ke rumahnya, menemui keluarganya. Memang, sejak hari pertama berpacaran dengannya, aku belum mengenal satupun keluarganya. Datang ke rumah Moan dan bertemu keluarganya membuat perasaanku cemas tak karuan. Jantungku berdebar tak tentu. Rasanya sangat menegangkan, jauh lebih menegangkan daripada menaiki roller coster sampai berpuluh-puluh putaran.
Aku menjaga sebaik mungkin perilaku dan sikapku di hadapan keluarga Moan. Sebisa mungkin tak ada sedikitpun noda yang kuciptakan. Benar saja, aku bisa menghela napas lega setelah pulang dari rumah Moan. Semuanya lancar, pertemuanku dengan keluarga Moan lancar. Tidak ada yang aneh. Keluarga itu tidak terlihat membenciku, tapi tidak terlihat menyukaiku juga. Artinya, sikap mereka biasa-biasa saja, normal-normal saja.
Aku membuka jilbabku lalu menenggelamkan badanku ke kasur. Lelah sekali rasanya, tapi sangat menyenangkan. Akhirnya aku bisa mengenal keluarga Moan dan semua akan semakin baik-baik saja.
Baru sejenak rasanya aku meregangkan setiap otot yang melilit tubuhku, handphoneku berdering tanda ada pesan masuk. Itu pasti Moan. Tapi untuk apa Moan mengirimkan sms? Harusnya tidak secepat ini ia sampai kembali ke rumahnya.
Kuambil handphoneku dari dalam tas dan melihat dua belas digit nomor yang tak kukenal. Kubuka pesan itu dan perlahan kubaca.
“Selamat malam, ini dengan Evelin kan? Saya kakaknya Moan. Dengan segala hormat, tolong Anda jauhi adik saya. Saya rasa Anda sudah tahu dengan jelas apa alasannya. Keluarga kami tidak bisa menerima Anda. Moan masih mempunyai masa depan yang jauh lebih baik jika tanpa Anda. Saya mohon pengertian Anda. Terima kasih, selamat malam.”
Aku diam. Badanku bergetar. Air mata perlahan jatuh membasahi pipiku. Napasku mulai sesak dan tak karuan. Aku menatap jilbab yang baru kutanggalkan dari kepalaku. Tangisku semakin menjadi. Apa yang salah denganku sebagai Islam? Apa yang salah dengan Moan sebagai Kristen? Apa yang salah dengan hubungan kami? Apa sebegitu kejamnya perbedaan sampai tidak bisa menyatukan kami? Apa yang salah dengan cinta kami, Tuhan?




-Untukmu, sahabatku yang mencintainya sangat dalam-
 

deepest mind Template by Ipietoon Cute Blog Design and Bukit Gambang